Kamis, 04 November 2010

Jam baru menunjukan sekitar pukul 1 dini hari, hari Jumat baru beberapa jam dilalui. Orang-orang sudah banyak terbuai oleh dinginnya udara di malam itu dibawah selimut masing-masing. Keheningan malam itu tiba-tiba berubah menjadi keramaian orang-orang dengan menampakan wajah cemasnya. Ya merapi kembali meletuskan material padat dari dalam perutnya. Saat itu baru 1 jam menapaki hari Jumat, tepatnya dini hari tadi tanggal 5 November 2010. Sebelumnya suara gemuruh cukup keras terdengar seperti suara halilintar. Sekitar pukul 1 terdengar suara hujan menjatuhi atap, tapi hujan yang terjadi bukan hujan air seperti normalnya. Yang terjadi adalah hujan abu dengan ukuran yang besar, atau mungkin lebih tepatnya hujan pasir. Bersamaan dengan hujan pasir itu juga sempat dirasakan getaran-getaran gempa walaupun nggak begitu besar. Hujan pasir itu sempat membuat orang-orang panik, termasuk teman-teman kos.

Anak-anak kos langsung bangun ketika merasakan getaran gempa dan langsung berkumpul dikaman Ipeh, kamar yang ada Tv nya. Kami langsung mencari tahu keadaan merapai dari statsiun TV. Walaupun akhir-akhir ini stasiun Tv dicemooh banyak orang karena terkadang memberitakan seara berlebihan, tapik kami masih percaya dengan stasiun TV. Dari pemberiataan di TV tersebut ttampak kepanikan melanda masyarakat khusunya di daerah Jalan kaliurang bagian atas, keadaannya mencekam dan tampak sangat crowded. Keadaan semakin ngeri karenabeberapa kali terdengar suara sirine yang meraum-raum ditengah malam itu. Suasana malam yang dingin seharunya sangat nyaman buat meringkuk dibawah selimut, tapi malam itu urung dilakukan karena pikiran yang tak tenang.
Hujan abu terus berlanjut sampai siang hari, walaupun bukan jenis abu ukuran besar/pasir. Cukup berat juga keluar rumah pada saat itu, karena abunya yang pekat mengganggu pernafasan dan pedih di mata. Jika memang harus terpaksa keluar rumah maka harus berbekal masker buat menutup hidung dan mulut serta kaca mata untuk menghindari abu masuk ke mata. Bangunan dan jalan semuanya tampak putih, terkadang angin bertiup menerbangkan abu-abut tersebut. Warga masyarakat dihimbau untuk tidak keluar rumah sampai langit tampak cerah dan hujan abu sedikit mereda.
Pagi ini mau tidak mau saya harus menyerangi hujan abu itu karena ada jadwal bimbingan dengan dosen. Kebetulan waktu itu saya memakai celana jeans hitam, sampai di kampus warnanya sudah berubah menjadi sedikit abu-abu terkena abu vulkanik dari merapi.

Entah keadaan ini akan berlangsung sampai berapa lama, aku pun gak tahu harus berbuat apa. Orang tua menyuruh segera kembali saja ke rumah, tapi sepertinya hati ini tidak mau meninggalkan kota Jogja dalam keadaan seperti ini. Dari pada kembali ke kampung halaman dan hanya memantau keadaan dari Televisi, aku lebih memilih untuk menjadi relawan dan membanu saudara-saudara pengungsi.

Smoga, semua ini cepat berakhir tanpa meniggalkan kesengsaraan yang mendalam bagi warga Jogja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar